
BESTSELLER
Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring
Author: dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ
Category: Self-Improvement, Lomba Ulasan Sewindu Bincang Buku
“Buku ini akan membantu menuntun kita di proses penerimaan dan perubahan agar arahnya tidak menuju keterpurukan, melainkan menuju pribadi yang lebih kuat dalam menjalani kehidupan dan menikmatinya seapa-adanya.” —Kunto Aji, Musisi
Ketika menyambut pasien yang sedang berduka, seorang psikiater akan menggali keilmuan yang dimiliki. Dia akan mengulik semua teori duka yang pernah dipelajari di masa kuliah dulu dan mengingat pengalaman dari pasien-pasien sebelumnya. Kemudian, dia menyintesis itu untuk membantu pasien yang sedang berduka di hadapannya.
Tapi, ketika Andreas—seorang psikiater—kehilangan anaknya, dia melakukan hal yang berbeda. Dia melemparkan semua teori tersebut ke luar jendela dan memutuskan untuk mencari makna tentang mengapa ini semua terjadi. Dalam pengalamannya, dia menemukan bahwa duka bisa dilalui dengan mencuci piring kotor yang menumpuk di dapur.
Buku ini adalah proses Andreas memaknai kehilangan besar dalam hidupnya. Diceritakan santai dengan tambahan sedikit bumbu humor gelap, buku ini memuat panduan bermanfaat yang langsung bisa diaplikasikan dalam hidup, seperti: “Tutorial Mencuci Piring”, “Tutorial Menyusun Puzzle”, dan tentunya “Tutorial Menerima Kematian Seorang Anak”.
“Hampir semua orang mempertanyakan: apa hubungannya antara duka dan mencuci piring? Jawaban saya adalah duka itu seperti mencuci piring, tidak ada orang yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya seseorang perlu melakukannya.”
dr. Andreas Kurniawan, SP.KJ (@dr.ndreamon di Instagram dan @ndreamon di X) adalah seorang psikiater lulusan Universitas Indonesia yang di media sosial dikenal sebagai “psikiater yang suka bercanda”. Pengalaman kehilangan ayah dan anaknya membuat dr. Andreas menyelami psikoterapi untuk kedukaan dan kehilangan. Buku ini adalah sebuah renungan yang menjadi caranya untuk memaknai kehilangan.


Aku belum pernah berkonsultasi dengan seorang psikiater sebelumnya, tapi setelah membaca buku ini, aku berpikir beginilah rasanya jika berbincang dengan psikiater yang tepat. Setiap kalimat yang tertulis di buku ini terasa begitu baik dan hangat. Emosi naik turun di dalamnya terasa begitu dekat. Tidak ada sedikit pun nada menghakimi atau menggurui, hanya menemani--dan itulah persisnya yang dibutuhkan oleh orang-orang yang tengah berduka.
Buatku, buku ini sempurna. Saat membaca buku ini, kedukaanku sudah berlalu tiga tahun lamanya, tapi tiap babnya tetap menyentuh dan ngena. Hampir tidak ada 'miss' sama sekali. Kalau kalian baru saja berkabung, perasaan itu akan berlipat ganda. Membaca buku ini akan membuat kalian merasa... dilihat. Didengar. Diperhatikan. Dibimbing.
Kita tidak disuruh melupakan orang yang sudah meninggal; tapi kita diajak untuk terus hidup.
"Orang yang sudah meninggal tidak perlu digantikan. Dia akan menempati suatu tempat khusus di hati kita, selamanya."
- hlm. 28

Bahasa yang digunakan sederhana, meskipun kadang diselipkan istilah kedokteran dan penjelasan ilimiah. Banyak analogi digunakan untuk menerangkan suatu cerita atau teori agar pembaca dengan mudah memahaminya. Seperti cara merelakan seseorang yang dianalogikan dengan menyusun kepingan puzzle. Aku suka sekali analoginya. Membaca buku ini seperti sedang mendengarkan kawan yang sedang bercerita tentang dukanya.
Berisi pengalaman pribadi penulis (juga seorang psikiater) dalam melalui duka setelah kepergian anaknya. Semua tahapan saat berduka, segala perasaan yang muncul dan respons orang-orang sekitar selalu menunjukkan kesamaan dan ternyata itu wajar terjadi. Namun setiap orang yang berduka memiliki reaksi yang berbeda-beda dan tidak semua orang melalui dukanya dengan mudah. Buku ini bisa dijadikan panduan atau 'teman' saat berduka. Agar duka tidak berkembang menjadi "prolonged grief disorder" (gangguang duka berkepanjangan), yang termasuk salah satu gangguan mental.
Aku merekomendasikan buku ini untuk orang-orang yang sedang berduka. Percayalah, buku ini adalah teman duka yang baik. Semoga kalian dimudahkan untuk memproses duka. Buku ini juga cocok dibaca untuk siapa saja agar kalian memahami apa saja yang dirasakan oleh orang yang tengah berduka.
Selamat membaca シ゚
Noda-noda di piring ini ibarat duka yang telah dilalui. Semakin cepat dicuci, semakin mudah untuk mengikhlaskan.
Nggak gampang, tapi... ya gimana lagi? ????
Jadi sebenarnya proses menyembuhkan duka itu satu-satunya cara adalah dengan menghadapinya. Bukan dengan menghindarinya.
Sumber dari duka itu tetap harus dihadapi. Pada akhirnya, setiap orang punya caranya masing-masing untuk melewati duka.
Buku nonfiksi ini cocok dibaca bagi siapapun yang sedang ada di masa grieving ataupun tisak. Bisa jadi seseorang butuh waktu untuk melewati fase itu. Jangan buru-buru menyuruh orang menerima.
Aku paling suka pas penulis bahas tentang kenapa manusia nggak bisa selalu bahagia dalam waktu yang lama. Harus ada variasi suka duka dalam hidup. Biar hidup seimbang.
Otak manusia didesain dengan sangat canggih. Kalau dapat stimulus yang bikin bahagia, tapi terus-terusan, kadar bahagia itu malah berkurang.
Buku nonfiksi ini bisa memberi penguatan bagi jiwa yang sepi dan sendiri mengatasi duka.
Gaya bahasa tulisannya santai, dan tidak menggurui. Berasa ada teman curhat yang mampu memahami sisi emosional orang yang sedang merespon duka dalam dirinya.
Berduka boleh, tapi jangan lupa untuk tetap hidup.
Semoga bahagia datang padamu dan duka pun sirna seutuhnya. ????
Selamat membaca yaa! ❤️
“Penerimaan itu bukan sesuatu yang pasif dan kita membiarkan dunia menghantam kita dengan segala rasa sakitnya. Penerimaan adalah perilaku aktif dan kita diminta merespons serta memilih apa yang perlu diterima dan apa yang tidak.”—hlm. 90

***
"Selamat Datang di Klub Berduka." Kalimat pembuka ini menyambut kita dengan lembut, membawa kita ke dalam perjalanan emosional yang mendalam. dr. Andreas Kurniawan, yang kehilangan anaknya, berbagi kisahnya bagaimana ia melepaskan teori-teori psikiatri yang selama ini ia pegang sebagai landasan profesinya menjadi seorang psikiater, dan menemukan makna melalui hal yang tak biasa, yakni seperti mencuci piring.
Buku ini penuh dengan berbagai pengalaman, pesan mendalam, dan tutorial yang menarik. dr. Andreas tidak menggurui atau memaksa kita untuk segera bangkit, karena ia memahami bahwa setiap orang butuh waktu yang berbeda dalam proses healing.
Meski beberapa teori dalam buku ini berbeda dengan keyakinanku, tapi aku sangat apresiasi buku ini, karena kehadirannya memberikan pelukan hangat kepada siapa pun yang sedang berduka, mengingatkan bahwa kita tidak sendirian dalam menghadapi rasa kehilangan ini. ????
Lalu, apa kaitannya duka dengan mencuci piring?
"Duka itu seperti mencuci piring, tidak ada yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya, seseorang harus melakukannya." ????️
Jadi, sudah siapkah kamu menyelami buku ini lebih dalam?
Penulis. dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ
Adalah seorang Psikiater yang menciptakaan buku sangat memotivasi para pembaca terutama terhadap orang-orang yg berduka atas kehilangan seseorang yg dicintainya. Selamat datang di klub berduka, dalam bab ini penulis menganalogikan berdasarkan data yang nyata dimana manusia hidup dan mati setiap detik dalam waktu sekejap, apakah ada waktu yang tepat saat orang untuk pergi? Jawabannya tentu tidak selain kita merelakan. Duka seperti cuci piring, karena tidak ada yang mau melakukannya namun kita harus tetap melakukannya. Ketika di hadapkan suatu keputusan yg menyulitkan tetap kita harus membuat keputusan untuk bisa hidup menyongsong hari esok. Karena hidup terus berlanjut dan akhirnya kita tahu bahwa duka adalah salah satu bagian dari kehidupan , maka ini juga yg terjadi pada kita. Ada satu tugas yang dibebankan kepada orang yang berduka, yaitu mencari pelajaran/makna dari apa yang terjadi.