
Crying in H Mart (Menangis di H Mart)
Author: Michelle Zauner
Category: Memoir
“Sebuah penghormatan yang tulus dan menyentuh bagi ibunya, bagi identitasnya, dan bagi keinginan kolektif kita untuk terhubung di dunia yang sering membuat kita terasing....” —Refinery29
Ketika Michelle tahu ibunya menderita kanker, dunianya seolah terhenti. Ditinggalkannya kehidupannya di kota besar untuk kembali ke rumah masa kecilnya menemani sang ibu. Michelle harus berjuang melawan kesedihan, kemarahan, dan rasa cemasnya setelah kemudian ibunya wafat. Dia melakukan terapi diri melalui makanan Korea dan mendapatkan hiburan tak terduga dari kunjungannya setiap minggu ke H Mart, toko bahan makanan Asia favoritnya.
Dia memasak semua hidangan Korea yang pernah disantapnya sambil mengenang waktu-waktu yang telah dihabiskannya: tumbuh di bawah asuhan seorang ibu yang keras dan menuntut; musim panas yang semarak di Seoul; perasaannya sebagai seorang anak setengah Korea; dan hidangan penghangat tubuh dan jiwa yang mempertemukan dirinya dengan ibunya berulang kali.
Inilah kisah Michelle yang sangat jujur: tumbuh terpisah dari, dan kemudian kembali bersama, identitas Korea-nya serta menempa jalannya sendiri setelah mengalami kehilangan yang menghancurkan.
“Deskripsi jjigae, tteokbokki, dan makanan Korea lainnya dalam buku ini sangat terlihat jelas sebagai bentuk cinta mendalam dan menyeluruh antara Zauner dan ibunya....” —Vogue
“Ketika orang yang kita cintai telah tiada, kita mengerahkan semua indra kita untuk merasakan tanda-tanda kehadiran mereka. Kemampuan Zauner untuk membuat kita masuk melalui rasa membuat bukunya istimewa.” —Kirkus Review
“Dengan memakai kimchi sebagai metafor brilian-nya, fokus utama Zauner adalah: fermentasi dan pahit manisnya kerumitan kehidupan.” —Sunday Times

Apa yang menjadi kekuatan, menurut saya, adalah keberaniannya untuk terbuka, merangkul kerapuhan kita semua sebagai manusia. Siapakah kita di balik tubuh yang kita kenakan? Mengapa kita menghakimi orang lain?
Michelle Zauner sendiri menuliskannya, “Aku sadar bahwa meskipun aku sulit jadi anak baik, aku pandai jadi anak pemberani.” Ia berani memilih dengan penuh kebebasan, berani menanggung konsekuensi apa pun yang dilibatkannya, dan berani menciptakan ruang untuk pengampunan.
Bagi sebagian pembaca, buku ini memotret tema mengenai penerimaan atas kematian, termasuk identitas diri. Bagi saya, buku ini berbicara tentang pengampunan. You forgave someone who wasn’t even sorry. That’s strength.
Terima kasih, Gramedia Pustaka Utama, sudah menerjemahkan dan menerbitkan buku ini.