Nyanyian Akar Rumput

Nyanyian Akar Rumput

Author: Wiji Thukul

Category: Poetry

“Sebagai aktivis dan seniman rakyat, Wiji Thukul memang dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya. Pilihan untuk kemudian bergabung bersama petani, buruh, dan kaum miskin lainnya dalam semangat yang semakin menguat, bahwa segala bentuk kemiskinan itu bukanlah semata-mata hadiah dari kekuasaan Tuhan, akan tetapi peluang dan kesempatan itu telah dilahap oleh kekuasaan politik dan modal.”

Munir Said Thalib, pejuang HAM Indonesia

No. GM :
619174025
ISBN :
978-602-03-0289-8
Price :
Rp 67,000
Total Pages :
248 pages
Size :
13,5x20 cm
Published :
04 November 2019
Format :
Soft Cover
Category :
Poetry
Jadilah yang pertama untuk mereview buku ini
Wiji Thukul

Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Dia sendiri datang dari keluarga tukang becak. Anak tertua dari tiga bersaudara, berhasil menamatkan SMP (1979) dan masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Jurusan Tari, tapi tidak tamat alias DO (1982).

Selanjutnya ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan mebel antik menjadi tukang pelitur. Di sinilah Wiji yang dikenal pelo (cadel) sering mendeklamasikan puisinya buat teman-teman sekerjanya.

Menulis puisi mulai sejak di bangku SD, dunia teater dimasuki ketika SMP. Lewat seorang teman sekolah dia ikut kelompok teater Jagat (singkatan dari Jagalan Tengah). Bersama rekan-rekannya di teater inilah ia keluar-masuk kampung ngamen puisi diiringi instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dan lain-lain. Tidak hanya di wilayah Solo, tapi juga sampai ke Yogya, Klaten, Surabaya, Bandung, Jakarta. Juga pernah ke Korea dan kota-kota besar Australia. Tidak hanya di kampung-kampung, juga masuk kampus, selain warung dan restoran. Dalam sebuah wawancara dikatakan bahwa awalnya ia dianggap gila.

Akhirnya, menurut Wiji, sebelum mengamen puisi, dia mengamen musik (menyanyi) terlebih dahulu. Setelah empunya rumah siap, baru dia mengamen puisi. Tahun 1988 pernah menjadi wartawan Masa Kini meski cuma tiga bulan. Namun sastra tetap menjadi kecintaan Wiji Thukul. Sajak-sajaknya mulai diterbitkan di media cetak, baik dalam dan luar negeri. Seperti di Suara Pembaharuan, Bernas, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan penerbitan-penerbitan mahasiswa.

Wiji Thukul menikah dengan Dyah Sujirah (Sipon) dan dikaruniai dua anak, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Untuk menyambung hidup, di samping membantu istri membuka usaha jahitan pakaian, Wiji Thukul juga menerima pesanan sablonan kaus, tas, dan lain-lain. Saat mengontrak rumah di kampung Kalangan, Solo, ia menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis untuk anak-anak.

Pada 1991 Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award di Negeri Belanda. Bersama Rendra ia adalah penerima penghargaan pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda W.F. Wertheim. Selain itu ia juga memperoleh Yap Thiam Hien Award pada 2010 atas jasanya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Sejak 27 Juli 1998 sampai dengan hari ini Wiji Thukul masih menghilang. Ia dan almarhum Munir tetap menjadi simbol perjuangan para pembela hak asasi manusia untuk menuntut keadilan. Sajak-sajaknya tetap menjadi bacaan wajib yang memberikan semangat baru bagi kaum muda untuk melawan rezim dan menegakkan keadilan.