.jpg)
You’re Not Listening: Hal-Hal Penting yang Kita Lewatkan Ketika Kita Tidak Sungguh-Sungguh Mendengarkan
Author: Kate Murphy
Category: Self-Improvement, Lomba Ulasan Sewindu Bincang Buku
Di tempat kerja, kita diajari untuk memimpin percakapan. Di media sosial, kita membentuk narasi pribadi kita. Di tengah pergaulan, kita mengobrol satu sama lain. Kita tidak mendengarkan. Dan, tidak ada yang mendengarkan kita.
Meskipun hidup di dunia teknologi komunikasi digital yang selalu terhubung, tampaknya tidak ada orang yang benar-benar mendengarkan atau bahkan mengetahui caranya. Hal ini kadang membuat kita semakin kesepian, terisolasi, dan kurang toleran dibandingkan sebelumnya.
Melalui hasil wawancaranya dengan berbagai narasumber yang mumpuni dan riset ilmiahnya, Kate Murphy sampai pada kesimpulan bahwa mendengarkan itu lebih dari sekadar mendengar apa yang dikatakan orang. Mendengarkan juga berarti memperhatikan bagaimana mereka mengatakannya dan apa yang mereka lakukan saat mengatakan itu, bagaimana konteksnya, dan sejauh mana hal yang mereka ungkapkan itu selaras dengan keyakinan kita.
Jika diniatkan dan dilakukan dengan baik, mendengarkan dapat mentransformasi pemahaman kita terhadap orang lain dan dunia sekitarnya, yang pada akhirnya akan memperkaya dan meningkatkan pengalaman dan eksistensi kita. Seperti itulah cara kita mengembangkan diri menjadi bijak dan membentuk hubungan yang bermakna, dalam berupaya menjadi versi terbaik diri sendiri.
Wilson : “Aku mendengar, bercakap-cakap dengan orang, yang mengejutkannya, meningkatkan peluang mau bekerja sama”
Ini secuplik dialog dari serial Dr House.
Relate banget dengan buku ini. Di masa kini, yang mana media sosial mendominasi kehidupan, konsentrasi dalam mendengar jadi lebih minim. Saat kopdar, kebanyakan orang memilih untuk mendominasi pembicaraan, cenderung memotong, lebih mementingkan proyeksi diri dibanding menyerap dari yang lain. Padahal, dengan mendengar akan memunculkan pemahaman dan membuat hubungan lebih bermakna.
Sayangnya, mendengar ternyata tak mudah namun tak mustahil dilatih. Mengapa sulit, karena saat mendengar kita ikut terlibat secara emosional dan mental dalam pengalaman orang yang berbicara, alih-alih mengkritik atau menunjukkan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan, yahh tentu saja dengan mendengar kita tak nampak menonjol.
Menariknya, saking pentingnya mendengar, CIA merekrut pendengar yang baik sebagai agen ketimbang melatih agen menjadi pendengar yang baik.
Mendengarkan merupakan anak tiri yang terabaikan dalam riset bidang komunikasi, terpinggirkan oleh investigasi terhadap ilokusi efektif, retorika, argumentasi, persuasi, dan propaganda.
Mendengarkan itu lebih menyerupai seni ketimbang ilmu. Dan, ilmu yang ada pun sangat minim. nah melalui buku ini, penulis mencoba memandu pembaca untuk meningkatkan keterampilan mendengarkan. Buku ini secara tidak langsung mengajakku untuk memahami cara memahami orang dan segala hal diluar diri, mengurangi titik buta kita sendiri. Ingin tahu dan rendah hati, kunci untuk bertumbuh dan menjadi orang “baik”.
Yang aku suka dari buku ini, pembawaan jurnalisnya yang komunikatif dan bahasan yang diangkat diantaranya: penelitian ilmiah; cuplikan karya sastra; amatan terhadap perilaku sosial di budaya barat-asia; dan wawancara dengan orang-orang yang luar biasa dalam mendengarkan.
Aku jadi ingat lagu Jiwa yang Bersedih #gheaindrawari merepresentasikan banyak sekali orang yang merasa tak didengar. Itulah mengapa pekerjaan psikolog luar biasa, mendengarkan sambil memberi pertanyaan terbuka
Pada beberapa bagian, saya menjadi tersentak sadar. Selama ini, belum cukup menjadi pendengar yang baik. Masih tidak menatap lawan bicara, maupun belum menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan. Di waktu lain, berada di titik kebingungan untuk merespon apa yang dilakukan setelah mendengarkan. Padahal, sejatinya cukup mendengar orang akan senang. Terkecuali, ia menyampaikan butuh tanggapan, baik komentar ataupun solusi yang perlu dilakukan dalam menghadapi kisahnya.
Kita juga bisa duduk diantara keramaian kota, untuk membiarkan diri kita tenggelam percakapan orang-orang yang berseliweran. Bukan justru, menyumpal telinga dengan earphone atau semacamnya. Memang ego manusia, dewasa ini menjadi amat begitu banal di tengah arus informasi dan hiburan yang merajalela.
Titik untuk berhenti mendengarkan pun dibolehkan. Kita mengetahui batas kemampuan kita, bisa jadi kelelahan terus menerus mendengarkan ini justru menyedot energi kita. Berdampak pada mengurangi produktivitas pada aktivitas lain, di pekerjaan maupun di rumah.
Pada titik jenuh itu, kita perlu memperhatikan supaya tak merasa diabaikan lawan bicara kita. Bisa jadi kita perlu mendengarkan lebih dari satu kali untuk memahami ucapannya. Sebab, kepercayaan ia bercerita pada kita amatlah besar. Bisa-bisa ia kecewa dan merasa di-ghosting, karena kita memutus komunikasi tanpa pemberitahuan dan penjelasan.
"Seorang psikiatri, Kathryn Zerbe memang menyadari dalam pekerjaannya, terdapat pasien yang tidak bisa disembuhkan. Senada dengan itu, ia mafhum bahwa hidup pun ada cerita-cerita yang tidak bisa kita dengarkan. Itu bagian keterbatasan kita sebagai manusia dan itu bukan masalah," - pada bab 17.
Sekali lagi, mendengarkan dapat menjadi obat penyembuh bagi siapa saja yang dia suara hatinya tertahan. Bisa jadi, setelah ia lega bercerita dan mengungkapkannya. Ia bisa melanjutkan hidupnya kembali. Meski, pada hal-hal yang bersifat pribadi kita bisa menyarankan lawan bicara kita untuk menemui profesional. Itu jauh lebih aman, ketimbang kita terus menerus mendengarkan hal-hal buruk yang bisa menjadikan kita berdampak buruk pula. Semoga kebaikan senantiasa mengelilingi kita dengan rahmat Allah.